Kamis, 11 Maret 2010

SEJARAH PAROKI SUMBUL

1. Masa Pra-Paroki Sumbul

  • Masa Sebelum Kemerdekaan (1938-1942)

Sejarah memang panjang dan berjalan dari abd ke abad masa ke masa demikian pula perkembangan sejarah keimanan yang bersumber dari Sabda Allah panjang dan rumit.

Sabda Tuhan dalam Kristus yang telah dimulai abad pertama, baru dua puluh tahun kemudian (tepatnya tahun 1938) sampai di salah satu stasi di paroki ini, yakni Silalahi. Daerah di tepian danau Toba. Stasi Silalahi waktu itu dilayani dari Sidikalang. Pastor pertama dalam kerasulan di situ adalah Pastor Clemens Hamers OFM Cap dibantu dengan seorang tenaga awam, Katekis Yohanes Sihombing. Kedatangan pelayan Allah ini sekaligus menjadi tonggak bagi gereja di Dairi. Sidikalang dijadikan pusat pelayanan pastoral paroki. Pastor Hamers-lah menjadi pedoman Gereja Katolik di Dairi dan pastor pertama di paroki Sidikalang.

Stasi yang berikutnya lahir adalah Juma Ramba tahun 1940, kemudian tutup sementara karena pendudukan Jepang. Usaha yang tak kenal lelah menggambarkan semangat yang tak pudar dari pastor dan katekis sebagai pionir pelayanan. Mereka tidak menunggu di tempat, duduk di tahtanya tetapi mencari umatnya sampai kepedalaman. Mereka berminggu-minggu berada di stasi-stasi, maklum jalan belum seperti sekarang. Pewartaan Sabda Gembira yang mereka bawa lambat laun menampakkan hasilnya, pelan tapi pasti umat bertambah.

Pertambahan umat Katolik tidak seperti perkembangan zending Protestan. Pada waktu itu pemerintah penjajah Belanda mengeluarkan peraturan yang mengikat karya misi Katolik. Peraturan tersebut dituangkan dalam perundangan pasal 123 yang kemudian menjadi pasal 177. Inti pasal tersebut melarang adanya zending berganda, yakni karya zending dan karya misi oleh berbagai Gereja dalam wilayah yang sama. Sebagai akibatnya karya misi Katolik di tanah Batak terhambat perkembangannya.

Namun demikian perhatian kepada orang kecil, miskin dan kurang perhatian tetap menjadi nomor satu bagi Pastor dan katekis. Mereka mengunjungi dari rumah ke rumah.

  • Masa Penahanan Para Pastor oleh Jepang (1942-1945)

Kekalahan Belanda terhadap Jepang berarti pemindahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang. Situasi ini pasti mempengaruhi perkembangan atau kehidupan umat beragama. Karya gereja Katolik mulai sulit berkembang karena sebagian besar tenaga pastor adalah orang Belanda. Meskipun urusan keagamaan demi kesejahteraan umat manusia jangan terganggu garagara pemindahan kekuasaan. Namun pemerintah Jepang tidak begitu mempedulikan penjelasan. Akibatnya banyak misionaris ditangkap, tak terkecuali pastor Hamers. Beliau ditangkap dan dimasukkan ke kamp di Tarutung. Paroki Sidikalang kehilangan gembalanya. Kemudian Bapak SMA Sihombing –seorang katekis- diangkat untuk menggembalakan umat Paroki Sidikalang. Tugas utamanya ialah memelihara dan menjaga inventaris gereja dan menggalang persatuan umat. Katekis ini menempati rumah pastor yang ditinggalkan karena harus masuk kamp.

Sekitar enam bulan penahanan atas Pastor Hamers di Tarutung, Jepang selanjutnya mengadakan pemeriksaan atas segala inventaris Gereja. Katekis Sihombing tidak diperkenankan tinggal di rumah Pastor dan menangkap bapak Sihombing untuk meminta pertanggungjawaban. Peristiwa penahanan Bapak Sihombing terjadi sekitar tahun 1943-1944.

Selama Pastor dan katekis ditahan, umat Dairi mengalami kesulitan dan kekawatiran. Umat ada yang berusaha meninggalkan iman, untunglah usaha ini dapat diatasi, kesetiaan terhadap Gereja Katolik menang.

Stasi Silalahi yang pertama lahir di Paroki ini dimulai dengan bercucuran keringat tertabur benih-benih kecil yang bernas. Dalam masa kesulitan dan kekawatiran mampu mekar bertumbuh mengurus dirinya tanpa Pastor dan katekis. Sementara benih yang tertabur di Juma Ramba sempat layu tak tersiram tanpa kehadiran misionaris. Juma Ramba jadi kenangan pahit untuk sementara.

Masa penjajahan Jepang, gerak iman umat dapat dilihat dari fenomena penting ini:

  • Iman umat melemah karena Pastor dan katekis ditahan.
  • Para katekis yang tak tertangkap sempit lingkup geraknya.
  • Banyak umat yang mengungsi/berpindah tempat
  • Adaptasi lingkungan-stasi kurang
  • Gereja katolik tinggal 10 stasi dengan keadaan rata-rata “hidup enggan mati tak mau.”

  • Masa Kemerdekaan (1945-1947)

Umat katolik di Dairi yang tersisa mencoba kembali mengadakan kegiatan, setelah lepas dari masa kekuasaan Jepang. Namun situasi setelah Proklamasi kemerdekaan belum seluruhnya aman. Banyak misionaris yang masih ditahan Inggris. Pada waktu itu di tapanuli muncul gerilya perjuangan dan akibatnya Tentara Inggris dan Belanda melarang Para Pastor memasuki Daerah Toba, Dairi dan Nias.

Para katekis mengambil alih fungsi Pastor. Tanggal 26 Mei 1946 bapak Petrus Datubara (ayah Mgr. AGP Datubara) dari Kutacane ikut membantu kegiatan umat Katolik di Dairi. Kegiatan misioner waktu itu hanya terbatas di Padang, Pematang Siantar, Tanjungbalai. Di belakang semua situasi yang kurang menguntungkan itu, serta Para Pastor Belnada yang tidak boleh leluasa bergerak, kaum awam Tapanuli mendesak pimpinan Gereja di Medan. Atas desakan dan permintaan itu, Mgr Braus mengadakan kontak dengan Jawa. Pada Tahun 1947 Mgr Soegiyopranoto dari Semarang mengutus Pastor Sutopanitro SJ ke daerah Tapanuli. Selama tiga bulan Pastor Suto mengunjungi semua paroki di Tapanuli. Pada tanggal 22 Juni 1947 Pastor Suto tiba di Sidikalang dan mengadakan pertemuan bersama tokoh-tokoh Katolik se-Dairi, kepala jawatan, tokoh partai yang ada di Dairi.

Pertemuan tersebut menunjukkan kesadaran baru, bahwa Umat katolik di Dairi merasakan kesatuannya sebagai umat dan tidak merasa sebagai umat yang terasing sendiri. Pertemuan ini membuahkan semangat baru bagi umat Katolik di Dairi.

  • Masa Kebangkitan Hidup Iman (1947-1967)

Dengan berakhirnya kekuasaan Jepang, maka terbukalah kembali harapan penyebaran agama Katolik di Dairi. Pastor Clemens Hamers sudah dibebaskan dari tahanan di Tarutung, meskipun untuk semntara berada di luar pos kerja. Baru tahun 1950 beliau kembali ke Sidikalang. Dua tahun kemudian –tepatnya pada bulan Mei 1952- ada tambahan tenaga baru, yaitu Pastor Kampof OFM Cap.

Dengan bertambahnya tenaga kemajuan karya misi kian tampak hasilnya, ditandai dengan beberapa stasi yang giat kembali dan juga stasi-stasi baru mulai berdiri. Beberapa stasi yang berdiri pada saat itu:

Pada tahun 1947 berdiri dua stasi, yaitu paropo dan Hodon-hodon.

  • Paropo terletak 8 km dari Silalahi jurusan Haranggaol. Stasi ini dimulai dengan 10 keluarga. Pada tahun 1967 menjadi 36 keluarga. Sitausi umat dengan pengurus sering kali kurang mendukung perkembangan Huria karena waktu itu ada seorang Guru Katolik yang seharusnya menjadi teladan, malahan karena perkawinannya menjadi batu sandungan. Sering terjadi perselisihan antara pengurus dan umat.
  • Hodon-hodon dapat dicapai dengan jalan kaki setengah jam dari Paropo ke jurusan haranggaol, Tongging. Stasi ini termasuk kecamatan Tigapanah. Stasi ini dimulai oleh seorang kafir yang masuk menjadi Katolik dengan dibantu oleh seorang wakil yang rajin dan jujur. Mereka sungguh berusaha agar di desa ini tidak ada agama lain yang masuk. Mereka sungguh taat kepada apa yang dikatakan Pastor. Pada tahun 1956 sudah 55 keluarga masuk Katolik dan pada tahun 1967 sudah mencapai 73 keluarga. Sisanya masih sipelebegu. “Seluruh daerah ini lama-lama pasti menjadi Katolik,” janji pengurus.

Pada tahun 1951 berdiri Stasi Ponjian, saat ini perjalanan ke Ponjian ditempuh lewat Harungguan. Stasi ini perluasan dari Stasi Rajangampu dengan nama Jumamakkat. Tetapi setelah Gereja selesai diganti namanya menjadi Gereja Santo Yosef Ponjian. Menurut Pastor, masih ada kebiasaan kafir di daerah ini. Guru Huria dalam setahun bisa diganti 3 kali. Gambaran huria Katolik waktu itu “Anak cahaya bergaul dengan anak kegelapan”, karena di situ juga ada seorang protestan yang kafir dan komunis aktif. Orang-orang yang datang dari Rajangampu pun tidak lebih baik. Mereka jarang ke gereja tetapi banyak komentar. Stasi ini dimulai dengan 20 keluarga sampai tahun 1967 menjadi 40 keluarga. Sekarang umat Katolik sudah 98 keluarga, dengan situasi yang kian baik. Mereka tidak lagi lemah dan buta huruf seperti pada tahun-tahun permulaan.

Pada tahun 1952, Stasi Parratusan berdiri. Stasi ini terletak 3 km dari Sumbul dan stasi terdekat untuk Paroki Sumbul. Porhanger pertama adalah Bapak mariden Simarsoit. Orang yang rajin dan jujur meski pengetahuan agamanya masih kurang. Namun perhatiannya sungguh besar terhadap kehidupan rohani. Stasi ini dimulai dengan 9 keluarga, sampai tahun 1967 sudah 34 keluarga dan sekarang 65 keluarga.

Di stasi ini pulalah muncul benih panggilan yaitu Pastor mandius Siringoringo O.Carm. sekarang ketua stasi Bapak A. Simbolon meski kecil orangnya tetapi tegas.

Pada tahun 1953 tiga stasi menyusul berdiri, yaitu:

  • Suhana: dapat ditempuh dengan jalan kaki setengah jam ke arah Dolok Sanggul. Penduduk hidup dari kopi dan sawah. Stasi ini dimulai dari 15 keluarga. Tahun 1967 menjadi 35 keluarga dan sekarang sudah 55 keluarga. Guru Huria waktu itu Batar Sijabat seorang yang baik, jujur sayang kurang pandai berinisiatip. Kebanyakan umat adalah suku pakpak dan selalu berbahasa pakpak meski mereka pandai berbahasa Toba. Stasi ini dimulai oleh orang Simallopuk ada juga Silalahi dan Simalungun. Umat kebanyakan hidup jauh dari gerejanya. Untuk masuk ke gereja harus berjalan di natara lalang. Porhanger pertama adalah F. Sinaga dan sekarang Bapak A.H. Rumapea yang merangkap sebagai ketua rayon.
  • Harungguan: terletak kira-kira satu setengah jam perjalanan ke arah Tigalingga. Sekarang jalan sudah aspal dan kalau berjalan membutuhkan waktu setengah jam saja. Di stasi ini banyak kopi, sawah dengan penduduk yang lebih makmur. Sungai Lae Renun melintasinya dan daerah ini biasa disebut Batangari. Stasi ini pecahan dari Ponjian. Mulai berdiri hanya dengan 15 keluarga, pada tahun 1967 menjadi 22 keluarga dan sekarang 25 keluarga. Pada Tahun 1983 pecah lagi ke Juma Lubang. Guru huria yang baik Walmen Benjamin Sitanggang, itulah Porhaner pertama. Sekarang yang menjadi Porhanger Viktor Samosir, Putera Bapak yang memberi tanah pertapakan untuk gereja. Pastor sungguh merasakan keakraban-kekeluargaan di sini.
  • Buluh Ujung: tempatnya dapat ditempuh dengan satu jam berjalan kaki ke jurusan Dolok Sanggul. Mula-mula berdiri terdiri atas 25 keluarga, pada tahun 1967 menjadi 25 keluarga dan sekarang 71 keluarga. Permasalahan tanah gereja sungguh menjadi persoalan di stasi ini hingga belati siap untuk membela hak-hak mereka. HCB diduga sebagai penentang waktu itu. Oleh usaha pengurus bersama umat dan Pastor, HCB dan katolik hidup damai. Guru Huria Abel malau sungguh pandai namun belum sempurna karena masih lebih memperhatikan perkaranya sendiri. Namun sekarang ketua stasi Bpk. L.M. Sinurat cukup bijak mengurus stasi sehingga umat giat dalam kegiatan gereja.
  • Pada tahun 1954, Stasi Siboras berdiri, dimulai oleh seorang guru SR bermarga Pohan bersama Op. Tangkas Simanullang, Op. John Pasaribu mereka inilah pelopor yang menaburkan benih Kerajaan Allah di stasi ini. Pada awal-awal pendirian Stasi Siboras banyak diadakan rapat untuk membicarakan pendalaman iman, perkembangan Huria, persatuan dan kesatuan pengurus dan umat. Hal ini sungguh sangat menolong sehingga tahun 1967 telah terlihat hasilnya. Dari 5 keluarga pada awalnya, menjadi 46 keluarga dan sekarang 87 keluarga; suatu perkembangan yang bisa dibanggakan dan sekarang pun sudah memiliki gereja permanen yang terbesar di paroki Sumbul. Bapak P. manullang ketua stasi sekarang.
  • Stasi Gunung Selamat berdiri tahun 1957. stasi ini pernah mempunyai motto “dengan pendidikan kita peroleh kemajuan”. Semangat inilah yang menggerakkan umat untuk mendirikan Sekolah SDK St. Paulus. Sayang sekali umurnya hanya 5 tahun. Karena sekarang telah berubah status dari SDK menjadi SDN no. 030339 Tanjung Beringin. Penyerahan ini terjadi tahun 1963. Jumlah umat stasi ini adalah yang terbesar nomor dua setelah Silalahi. Ketua stasi sekarang Guru Agama yang potensial Bpk. Josen Sidabutar. Semangat dan bakat ada. Saya yakin stasi ini akan lebih bersemangat dan mampu membangun Gereja baru yang mampu menampung umat. Perintis stasi ini Bpk. Poster Sidebang.
  • Stasi Linggaraja tahun 1959; stasi ini berada di tengah hutan kopi jauh dari rumah umat. Bapak Tio Lingga seorang yang berbelaskasih sehingga memberi tanah untuk gereja. Porhanger pertama adalah Rahammat Munte. Karena stasi inilah induk dari stasi-stasi yang ada di Tigabaru maka jumlah umat tidak selalu tetap. Umat yang ada disini selalu memisahkan diri untuk membentuk stasi baru, misalnya Huta Imbaru dan sebagainya.
  • Stasi Sibabi: pecahan dari Lingga Raja yang letaknya 4 jam bila berjalan kaki dari Sumbul. Tanah di sini tak menjadi soal. Kopi adalah hasil utama daerah ini dan sawah jauh letaknya dari huria. Pada mulanya yang menjadi anggota gereja 13 keluarga. Di daerah itu juga masih banyak yang belum mengenal Tuhan. Guru Huria awali adalah seorang Protestan. Umat kebanyakan berasal dari Sihotang dan Reniate. Statistik memberi nama Sibabi, tetapi sebenarnya biasa juga disebut AEK SIMBORA. Karena perkembangan umat cukup pesat maka beberapa kali diusulakn dipecah dan baru tahun 1981 Sibabi atas membentuk huria sendiri mengingat jaraknya. Ketua stasi sekarang R. Sinaga dan jumlah umat 67 keluarga.
  • Stasi parikki berdiri tahun 1959: untuk ke Parikki harus melewati tiga stasi, yaitu: Suhana, Sisolusolu dan Pangguruan. Stasi ini sejak dahulu kelihatan sulit berkembang. Dugaan ini berdasar atas keprihatinan Dewan paroki yang sempat mau menutup huria ini. Sampai sekarang jumlah umat 12 keluarga, gereja terus buka.
  • Stasi parbuahan, berdiri tahun 1963: dari Sumbul sekitar 7 km. Guru Huria seorang yang sudah tua dari Simallopuk, pernah murtad dan anak-anaknya tidak pernah kembali bertobat. Tanah gereja menjadi persoalan tapi sekarang sudah selesai bahkan sanggup memiliki gereja yang tinggi lagi indah dari huria lain. Umat tersebar jauh dipedalaman namun tampak iman mereka subur.
  • Stasi Sisolusolu berdiri tahun 1964: semangat umat masih perlu ditingkatkan. Perselisihan antar pengurus selalu menjadi masalah persatuan dan kesatuan umat. Jumlah keluarga sekarang adalah 35 keluarga dipimpin ketua stasi Bpk. Lindung Matanari.
  • Stasi Sumbul, berdiri resmi tahun 1967. Tiga tahun sebelumnya sebenarnya, sudah diadakan doa-doa lingkungan. Doa-doa itu dilaksanakan di Rumah Bapak Togar Sipayung. Setelah memiliki gereja, pindahlah umat beribadat minggu di gereja. Gereja dibangun di atas tanah milik marga Lingga sampai sekarang.

Jadi, sampai sejauh ini sudah 16 stasi yang muncul di daerah Sumbul, Tigapanah dan Tiga Baru. Cukup untuk dilayani tersendiri sebagai paroki. Misionaris yang melayani/ berkarya di Sumbul sampai tahun 1967 tercatat:

  • Pastor Stefanus J.Krol OFM Cap
  • Pastor van Straalen OFM Cap
  • Pastor R. Pennock OFM Cap
  • Pastor R. Raessens OFM Cap
  • Pastor Q Krammer O.Carm

Mereka dibantu seorang katekis yang tak kenal lelah, yaitu Bapak A. Simamora. Nama bapak A. Simamora tidak pernah dilupakan oleh semua umat Dairi, terutama Sumbul. Beliau telah mengukir tanah daerah Dairi dengan cucuran keringat dan tangannya yang selalu terbuka menolong, kakinya yang meninggalkan tapak meratakan jalan dan pikirannya yang mampu menumbuhkan semangat hidup. Kepemimpinan merupakan kharisma beliau. Beliaulah yang sungguh perlu kita kenang sebagai tokoh besar umat Katolik di dairi khususnya Paroki Sumbul.

2. Masa Paroki Sumbul (1967 – 2010)

Ke-16 stasi yang telah berdiri di masa pra-paroki Sumbul terdiri atas 321 keluarga dengan jumlah jiwa 1.929 orang merupakan modal pertama gerakan paroki.

Paroki ini mengambil St. Dionysius, yang lahir di Hofleur-Perancis tanggal 12 Desember 1600, sebagai pelindung. Semangat petualang Dionysius sebagai pelaut mendorong dirinya untuk menjadi petualang dalam perluasan dan penyebaran Kerajaan Kristus di Sumatera. Dionydius bersama Br. Redemptus berangkat ke Aceh sebagai utusan Portugis untuk mengadakan hubungan bilateral antara Portugis dan Aceh. Juga tak lupa menyebarkan kabar gembira Kristus, karena ia sebagai imam Karmel yang ditahbiskan tahun 1638. Pada tahun itu pula, ia berangkat ke Sumatera dan disambut oleh Sultan Iskandar Thani dengan ramah. Namun keramahan itu merupakan tipuan, karena Dionysius dan ke-60 temannya kemudian ditangkap dan disiksa untuk mengingkari kepercayaannya. Namun Dionysius tetap teguh dan memberi semangat kepada teman-temannya sampai akhirnya ia sendiri menyerahkan diri kepada Tuhan dihadapan para algojo Sultan Thani. Ia mati sebagai martir tanggal 29 Nopember. Keistimewaan martir ini sesuai dengan saksi mata, beberapa kali jenazah Dionysius kembali. Setiap kali jenazah itu dibuang ke laut dan ke hutan, selalu kembali ke tempat dimana ia dipenggal. Tanda heran ini adalah mujizat yang berasal dari Tuhan. Jenazahnya pun selama tujuh bulan tidak hancur. Semogamemang demikianlah Paroki Sumbul, meski ada kesulitan dan rintangan tapi tetap tidak hancur, harus selalu utuh bersatu dalam kesatuan erat.

Paroki Santo Dionysius, Sumbul lahir sebagai paroki terakhir di Dairi. Paroki yang mendahuluinya adalah Parongil, yang berdiri tahun 1954 dan Tigalingga yang berdiri pada tahun 1965. sumbul semestinya sudah mulai berdiri tahun 1966, namun secara resmi menurut catatan Buku Permandian baru tanggal 5 Juli 1967 resmi berdiri. Umat yang pertama kali dipermandikan adalah Bapak Paulus Sidabutar, Bapak Urbanus Sijabat bersama 40 temannya. Permandiannya terjadi di Stasi Silalhi tanggal 18 Januari 1941.

Uraian tentang masa Paroki Sumbul ini selanjutnya kami bagi menjadi beberapa bagian menurut pastor yang bertugas sebagai pastor Kepala Paroki Sumbul.

Pastor Quirinus Kramer O. Carm.(+ )

(Juli 1967 s.d. Maret 1973)

Lahir di Hoofdorp, 27 Nopember 1911

Masuk Biara, 01 Oktober 1929

Tahbisan Imam, 14 Juli 1935

Meninggal, 14 September 1975

Paroki St. Dionysius yang baru berdiri ini sungguh membutuhkan perhatian penuh dari seorang gembala. Gembala yang sungguh penuh perhatian adalah Pastor Quirinus Kramer O.Carm. Beliaulah yang memulai dengan baik, karena sebelumnya telah mengenal domba-dombanya sewaktu ia masih sebagai Pastor di Sidikalang. Seluruh kemampuannya dicurahkan sepenuhnya untuk tugas pelayanan. Kepribadiannya yang tegas dan disiplin masih terkenang di hati umat Paroki Sumbul.

Pelan-pelan beliau membenahi parokinya, rumah pastor didirikan dan sekaligus sebagai tempat ibadat/gereja. Awal dari setiap pendirian adalah kesibukan yang luar biasa, lebih-lebih karena beliau rtidak dapat meninggalkan tugas utamanya: bukan hanya memperhatikan gedung, lebih dari itu memperhatikan umat. Kerajinan mewartakan Sabda Allah membuahkan beberapa stasi:

  • Stasi Sipalipali dan Stasi Pispis berdiri tahun 1968
  • Stasi Lae Tanggiang dan Stasi Pangantaran berdiri tahun 1969
  • Stasi Juma Ramba dibangun kembali tahun 1970
  • Stasi Tiga Baru dan Stasi Juma Kancil berdiri tahun 1973

Selama pastor Kramer bertugas di Sumbul, stasi-stasi harus dijalani dengan berjalan kaki. Namun keadaan semacam itu tidak mengurangi kunjungan dalam mewartakan Sabda Kebenaran yang menggembirakan umat. Umat sungguh terlayani dan dikenal maupun mengenal Pastornya. Sampai waktu ditinggalkannya Paroki Sumbul terdiri atas 685 keluarga atau 4.110 jiwa.

Pastor Anthony Scerri O. Carm.

(Maret 1973 s.d. Okt. 1982)

Lahir di Minia-Mesir, 01 Januari 1931

Masuk Biara, 09 Maret 1952

Tahbisan Imam, 27 Maret 1958

Pastor ini termasuk anggota Provinsi Australia. Beliau bekerja bersama Pastor Paul Gurr O.Carm, Alan May, Br. Timotius yang semuanya adalah anggota Ordo karmel negeri Kangguru, Australia. Sungguh suatu keberuntungan dan rahmat Tuhan bagi Umat Katolik yang berada di Paroki Sumbul.

Pastor Scerri kelahiran Mesir ini dengan cepat dan ligat menyesuaikan diri dengan umat. Adat dan budaya Batak sungguh beliau kuasai, sehingga komunikasi dengan umat sungguh luar biasa. Pastor Paul lain lagi, beliau punya bakat dalam seni suara dan alat kesenian lainnya. Mudika selalu berdekat-dekat kepadanya untuk bersama berdendang manortor. Kesempatan baik inilah dipergunakan Paul Gurr untuk membina Mudika di stasi-stasi. Sayang, beliau tidak lama tinggal dan melayani Umat paroki Sumbul karena Australia membutuhkan tenaganya. Demikian pula Br. Timotius dan Pastor Alan pun ditarik ke Australia. Maka tinggallah Pastor Scerri sendirian melayani umat Sumbul.

Stasi-stasi makin bertambah, rumah pastor yang sekaligus sebagai tempat ibadat tidak mampu menampung umat. Oleh karena itu ide mendirikan Gereja muncul. Ide Pastor yang ramah ini begitu istimewa. Beliau tidak hanya sekedar ingin mendirikan Gereja Besar, namun ide pelestarian budaya bangsa-terutama Batak- ada dalam benaknya.

Gereja Batak Pakpak-lah yang didirikannya. Karena tanah dan umatnya berada di daerah Pakpak. Juga Putera-puteri Pakpak hampir tidak ada yang mendirikan rumah adat Pakpak. Gereja ini memang megah, anggun dan inda. Kayu pilihan dan arsitektur yang bagus dapat kita nikmati sampai sekarang.

Dengan kemauan keras dan tak kenal lelah, ia mengunjungi stasi-stasi. Stasi-stasi pun mulai bermunculan. Selama pastor Scerri bertugas di Sumbul8 stasi telah berdiri, yaitu:

  • Stasi Parsaoran berdiri tahun 1975
  • Stasi Dolok Tolong berdiri tahun 1978
  • Stasi Sileuleu ;berdiri tahun 1979
  • Stasi Tumpak Debata berdiri tahun 1980
  • Stasi Suka Makmur dan Lae Siboban berdiri tahun 1980
  • Stasi Sibabi Atas dan Huta Imbaru keduanya berdiri tahun 1981

Pada masa beliau pula Stasi Paropo dan Hodon-Hodon diserahkan pada pelayanan paroki Saribu Dolok. Hal ini terjadi mengingat para umat kedua stasi ini mar-onan (berpekan) di Saribu Dolok, sehingga pelayanan pastoral memang lebih mudah ke Paroki Saribu Dolok.

Pada tahun 1979 juga ada beberapa Suster dari New Zeland datang ke Sumbul, untuk berkarya di bidang kesehatan. Mereka adalah Sr. Mery, Sr. leticia, Sr Janice Ruff. Mereka berkarya di Sumbul sampai tahun 1981, lalu berhenti.

Dari pengalaman tiap kali ada teman kerja dari luar, mulai dari Pastor Paul sampai Suster-suster, selalu berubah dalam arti sewaktu-waktu dapat dipindah. Maka, Pastor Scerri berinisiatif melibatkan kaum awam yang berdomisili di Sumbul. Kaum Awam dilibatkan dalam pengelolaan paroki serta dalam kegiatan kegerejaan. Hal ini terwujud dalam suatu wadah yang disebut Dewan Paroki. “Keanggotaan Dewan bukanlah jumlah banyak, tetapi kualitas yang perlu,” begitu sering dikatakan Pastor ini.

Sejak Dewan Paroki dibentuk, kegiatan dimulai setiap bulan dengan sermon. Materi sermon tidak hanya terbatas pada bidang kerohanian tapi juga meliputi bidang sosial, ekonomi, kesehatan, pertanian dan Credit Union.

Untuk menggalang kesatuan diadakan pertemuan-pertemuan: Pertemuan Mudika, PIK,PAK. Demikian pula informasi diterbitkan oleh Dewan Paroki dalam bentuk buletin bulanan dengan judul TOGOK=lampu. Dengan maksud untuk meningkatkan kecerdasan bangsa terutama di Sumbul, Dewan paroki pernah mempunyai gagasan untuk mendirikan perguruan Katolik. Sebenarnya ide ini mendapat sambutan bagus dari seluruh lapisan: Umat dan masyarakat. Namun rupanya ide ini belum diberkati Tuhan sehingga belum juga menjadi kenyataan. Semasa Pastor Scerri jumlah stasi ada 30 stasi dan jumlah keluarga 1.583 keluarga, sedang jumlah jiwa mencapai 8.513 jiwa.

Pastor Agustinus Girin O. Carm

(Okt. 1982 s.d. Nov. 1988)

Lahir di Malang, 11 Nopember 1946

Masuk Biara, 11 Januari 1970

Tahbisan Imam, 16 Januari 1977

Tugas Oppung Agus ini (sebutan untuk Pastor Agustinus Girin) dimulai pada bulan Oktober 1982. Pastor Scerri dipindah tugaskan ke Medan untuk menangani para mahasiswa UNIKA St. Thomas sekaligus sebagai wakil rektor. Oppung Agus mulai bekerja dengan suasana yang berbeda, namun dari sebutannya kita telah mengira kalau beliau cepat menyesuaikan diri dengan adat dan situasi di Tanah Batak.

Karya kerasulannya didukung oleh Dewan paroki, sehingga berkat kerja sama yang sungguh terlihat bangunan gedung gereja di stasi yang sebelumnya masih darurat menjadi permanen. Stasi-stasi pun bermunculan:

  • Stasi Juma Lubang dan Stasi Sihotang Nahornop berdiri tahun 1983
  • Stasi Langgasuha berdiri tahun 1984
  • Stasi Mbinanga berdiri tahun 1985
  • Stasi Pardomuan Nauli berdiri tahun 1986
  • Stasi Lumban Simbolon berdiri tahun 1987

Paroki Sumbul sudah menjadi 36 stasi dengan jumlah umat: 1.729 keluarga atau 10.285 jiwa. Sungguh pekerjaan yang tidak ringan mengurus umat sebanyak itu. Untunglah, dewan paroki siap membantu dengan membenahi para pengurus stasi bila ada periode, pendamaian antar umat atau pengurus, memimpin gotilon, pertemuan-pertemuan di Paroki diurus dengan baik.

Di bidang pembangunan beliau memberikan semangat kepada umat, sehingga selama masa kerjanya sudah 12 Gereja dibangun. Demikian pula pembangunan jalan dari Tanjung Beringin ke Lae Tanggiang, jalan itu dibangun atas semangat dan dorongan beliau. Secara materi, beliau menyumbangkan riol untuk beberapa jembatan di sepanjang jalan yang dibangun tersebut.

Pastor Agus juga memberi perhatian kepada umat yang sakit, tapi bila ketahuan umat yang sakit dihubungkan dengan guna-guna Pastor asli Jawa Timur ini akan marah. Bukti nyata perhatiannya kepada orang sakit ditampilkan dengan selalu membawa obat bila pergi ke stasi-stasi. Tengah malam pun, bila ada orang yang datang memberitahu bahwa umatnya sedang sakit pastor ini tanpa berkomentar akan langsung berangkat.

Pastor Agustinus Purnomo O. Carm

(Nov. 1988 s.d. Nov 1991)

Lahir di Curah Krakal, 15 Agustus 1956

Masuk Biara, 11 Januari 1979

Tahbisan Imam, 27 Januari 1985

Menjelang usia ke-25, Paroki St. Dionysius Sumbul mendapat kenyataan Pastor Paroki dipindah. Pastor Agustinus Girin diganti oleh Pastor Agustinus Purnomo. Hal itu terjadi pada bulan Nopember 1988. Pastor ini menampilkan sikap kebapakan. Sapaannya yang akrab membuat setiap orang ingin bersama dalam karya. Keramahannya membuat orang terpesona dan bersimpati.

Peta paroki dipelajarinya untuk memudahkan berkunjung ke stasi-stasi. Perkenalan selalu didahulukan sebagai cara untuk diterima dan menerima umat. Hal ini membawa kesan baik bagi umat, dan umat pun merasakan bahwa Pastor adalah Bapa rohaninya. Melihat medan paroki Sumbul yang luas, serta jumlah stasi yang banyak dan pertumbuhan umat yang subur, Pastor muda ini berusaha melibatkan lebih banyak kaum awam dalam karya pastoralnya.

Tentu saja, benih yang telah tumbuh dan berbuah yang ditaburkan para Pastor pendahulu tidak boleh sia-sia. Maka untuk memperlancar tugas penggembalaan, stasi-stasi yang berdekatan dikumpulkan/dihimpun dalam rayon. Struktur kepengurusan juga dibenahi. Ada 4 rayon diparoki ini, yaitu:

  • Rayon Sumbul
  • Rayon Suhana
  • Rayon Silalahi
  • Rayon Tiga Baru

Sermon diadakan di dua rayon setiap bulan, yaitu rayon Sumbul, termasuk Silalahi dan Suhana. Kemudian di rayon Tiga Baru. Struktur kepengurusan stasi/huria yang lama memiliki dua bidang yang ditangani orang yang berbeda secara terpisah. Sering kepengurusan seperti ini menimbulkan kebingungan. Bidang rohani yang ditangani oleh Porhanger dan para sintua. Sementara bidang jasmani dipegang oleh wakil ketua dengan komisaris. Setelah disesuaikan maka semua tanggung jawab stasi berada di tangan ketua stasi, baik jasmani maupun rohani; meski tugas dan tanggung jawab juga dipikul oleh para ketua lingkungan. Seksi-seksi dibentuk emnurut keperluan, misalnya: seksi sarana, seksi Mudika, Seksi Liturgi. Seksi Katekese, seksi PIK, PAK dan Asmika. Rupanya struktur semacam ini cocok dan mampu mengatasi dualisme yang ada.

Setelah tiga tahun bekerja bersama-sama Dewan Paroki, berdirilah stasi-stasi baru, yaitu: Stasi lae Pinagar Atas dan Stasi Pangguruan. Statistik Paroki Sumbul sampai akhir tahun 1990 dan awal tahun 1991 adalah 1.732 keluarga atau 10.035 jiwa. Baptisan 400 orang dan diterima resmi 94 orang.

PENUTUP

Perkembangan umat Paroki St. Dionysius Sumbul sungguh menggembirakan. Pada tahun 1967 jumlah keluarga 321 atau 1.929 jiwa sekarang menjadi 1.732 keluarga dengan 10.035 jiwa, hal ini menunjukkan kenaikan + 500%, suatu perkembangan yang sungguh besar.

Sayang kesuburan itu tidak disertai dengan kesuburan panggilan sebagai imam. Sampai dengan tahun 1991, belum ada seorang pun yang asli umat Sumbul menjadi imam. Semoga di masa-masa mendatang banyak Putera-puteri Sumbul yang berkarya diladang Tuhan.

Sebagaimana dituliskan dalam

Pesta Perak Paroki Sumbul, 29 November 1991